Dan kini, tepat satu minggu sejak aku mengerjakan cerpenku. Malam ini
adalah malam minggu, saat yang tepat bagiku untuk melanjutkan cerita
pendek tentang kisah seorang jomblo tersebut. Belum terlalu lama pensil
ini kugenggam, tiba-tiba.
“Ceting!!!” suara hpku berdering.
Dan betapa bahagianya aku, ternyata itu adalah sms dari Nada.
“Malem wan, lagi ngapain?” tanyanya.
“Lagi nyantai aja nih. Ngelanjutin cerpen. Kamu sendiri?” jawabku cepat.
“Sama kok, lagi nyantai aja. Eh, kamu mau gak ikut aku cari makan? Hari ini Mama lagi gak masak nih”
Mendengar ajakan tersebut, hatiku tiba-tiba tersentak bahagia. Tak
menyangka akan ada kesempatan bagiku menghabiskan malam minggu dengan
Nada. Tanpa pikir panjang, kusetujui ajakan tersebut.
“Boleh deh.” Jawabku singkat.
“Oke deh, aku tunggu di rumah ya?”
“Siap tuan putri”
Segera kuhempaskan baju yang sedari tadi masih melekat di tubuhku.
Tanganku segera mengobok-obok lemari, mencari baju ganti yang cocok
untuk malam ini. Tanpa tunggu lama, hem warna hitam dan celana jeans pun
menjadi pilihan.
“Duk, duk, duk..” suara tangga kayu yang berbunyi keras ketika harus beradu dengan sepatuku.
“Loh, mau kemana kamu Ahmad? Kok tumben, rapi sekali?” tanya Ayah yang
kaget melihatku keluar dengan pakaian yang rapi serta wangi.
“Eemmmm, anu yah. Ahmad mau cari makan di luar sambil cari udara segar” jawabku ragu. Takut jika Ayah akan naik darah padaku.
“Tahu sendiri lah yah, Jam segini kan udara paling segar untuk pasangan
anak muda. Apalagi ini kan malam minggu.” Goda Ibuku yang tiba-tiba
muncul dari dalam kamar yang terletak di sebelah bagian bawah tangga.
“Iya, apalagi kalau perginya bareng sama temennya yang kemaren kesini” sambung adikku.
“Wah-wah. Sudah gede rupanya anak Ayah. Ya sudah sana berangkat.” Kata Ayah mengizinkan.
Setelah kiranya mendapat izin dari Ayah dan Ibu, segera kucium tangan keduanya dan segera pamit.
“Aku berangkat ya. Assalamualaikum” kataku dengan lambaian oleh tangan kiri dan tangan kanan yang menarik tuas gas.
“Waalaikumsalam” suara keluargaku yang masih sempat terdengar.
Motor matik milik Ayah seketika melaju. Deru mesin yang cukup
kencang, bagaikan sirine yang menandakan bahwa aku sedang terburu-buru.
Karena jalanan yang cukup macet oleh para pemuda dan pemudi, perjalanan
pun menjadi sedikit terhambat. Tak jarang aku harus tarik ulur tuas gas
dan beberapa kali rem mendadak. Setelah 15 menit perjalanan yang cukup
melelahkan, akhirnya nampaklah istana mewah tempat kediaman Nada.
“Tiinnn.. Tiiinnn..” suara klakson seakan memanggil pemilik rumah yang hendak kuajak pergi ini.
“Hay!!!” sapa Nada dengan gembira ketika melihatku berada di depan rumahnya.
“Sebentar ya, aku ganti baju dulu.” Lanjutnya.
Karena keadaan rumah yang sepi, jadi aku memilih untuk menunggunya di
luar. Aku baru tahu, ternyata Ibunya sedang pergi ke luar kota. Tak
sampai 5 menit, munculah sosok cantik milik Nada. Dengan celana jeans
warna biru serta baju trend masa kini yang dibalut jaket lembut semakin
membuatnya terlihat anggun. Hingga aku serasa terbius oleh
penampilannya.
“Sekarang mau kemana nih? Ke cafe, tempat makan, atau…”
“Atau apa?”
“A.. Atau jalan-jalan dulu? Tapi, tapi itu terserah kamu sih. Kalau kamu gak mau gak papa kok.” Lanjutku sedikit gugup.
“Emmm, bagaimana ya? Habisnya aku sibuk sih”
“Ya udah, kalau sibuk langsung cari makan aja” kataku sambil sedikit
murung. Karena aku merasa tak akan bisa berlama-lama lagi dengan Nada.
“Jangan, kita nonton yuk?” ajaknya spontan.
“Loh, katanya sibuk? Kok malah ngajak nonton?” tanyaku keheranan.
“Iya, habisnya malam ini sibuk jalan sama kamu sih” godanya.
“Wah, sialan. Kena lagi deh gua. Emang paling pinter deh, kalau ngeboong” kataku seraya mencubit hidungnya yang mancung.
“Loh, hidungku?”
“Makanya, besok jangan lupa datang ke CFD ya?” candaku.
Ia hanya membalas senyuman dan langsung naik ke dalam boncenganku. Tak
menunggu waktu lama, motor Ayah kembali kupacu santai menuju salah satu
mall tujuan kami.
“Pritt, pritt, pritt…” suara peluit yang ditiup oleh tukang parkir
terdengar merdu memandu kami untuk segera memarkir kendaraanku. Setelah
kurasa mendapatkan tempat yang tepat bagi si matik, kami berdua segera
menuju ke dalam mall seluas 400 meter persegi ini. Setelah memasuki
kawasan mall, terasa sekali suasana yang sangat berbeda. Hawa segar
hembusan AC, serta lantunan musik yang terdengar. Menciptakan suasana
yang sangat nyaman bagi kami, terutama Nada. Ia nampak sangat nyaman
berada di sisiku. Aku juga turut bahagia melihatnya. Entah sampai kapan
kebahagiaan ini akan berlangsung, yang jelas aku tak menginginkannya
pergi.
Setibanya di depan pintu masuk bioskop, puluhan judul film beserta
waktu diputar telah berbaris rapi menunggu kami. Berbagai jenis dan
genre film tersedia disini. Mulai dari yang drama mengharukan, hingga
film action menantang. Seakan sengaja untuk membingungkan kami memilih
film mana yang akan kami tonton kali ini. Hingga akhirnya, pilihan jatuh
pada film ber-genre drama dari indonesia. Yaitu, perahu kertas. Film
yang disutradarai oleh sutradara terkenal Hanung Bramantyo ini sukses
menarik perhatian kami di antara deretan film populer luar negeri.
“Wan, kalau gitu aku pesen tiket dulu ya?” kata Nada seraya melangkahkan kakinya menuju antrian loket.
“Iya,” jawabku pelan.
Aku masih terdiam tepat di depan dinding dimana berbagai judul film
terjajar rapi. Aku tak tahu harus melakukan apa dan menuju kemana. Tapi
tiba-tiba sebuah ide muncul di benakku.
“Aku beli popcorn dulu aja kali ya. Siapa tahu Nada suka.” fikirku.
Segera kurubah pandangan menuju tempat untuk membeli popcorn. Rupanya
tempat itu tidak terlalu ramai. Terlihat hanya beberapa orang yang
antri untuk membeli camilan yang satu ini. Dan aku adalah orang keempat
dalam antrian tersebut.
Sambil menunggu antrian, iseng-iseng kulihat barisan antrian menuju
loket yang mengular cukup panjang. Pengunjungnya rata-rata anak muda
yang sedang menghabiskan waktu di malam minggu. Tak sengaja, nampaklah
wajah riang milik Nada. Kulihat ia berada di tengah-tengah antrian yang
cukup jauh dari loket. Namun nampaknya ia begitu sabar. Tak nampak
sedikitpun ekspresi murung ataupun kesal padanya. Ia hanya menunjukkan
wajah anggunnya dan sesekali memainkan HP miliknya. Terlalu asyik
kupandangi wajahnya, hingga aku tak sadar bahwa sebenarnya aku juga di
dalam antrian.
“Mas, Mas!!” panggil seseorang dari arah penjual popcorn.
“Mas mau beli popcorn apa enggak? Kok diem disitu aja?” lanjut pedagang itu.
“Oh iya mbak, beli popcorn dua sama minuman yang itu dua ya” jawabku
dengan telunjuk yang mengarah pada salah satu produk minuman dekat
penjual tersebut.
Di dalam hatiku, sebenarnya ada rasa malu yang amat besar. Terlalu asyik
untuk memandangi sekitar, hingga aku tak sadar bahwa ternyata antrian
di depanku telah habis. Dan juga, menahan malu karena sempat menjadi
pusat perhatian ketika pedagang popcorn harus berteriak-teriak
memanggilku yang menghentikan antrian. Tapi semua rasa malu itu coba
kutepis. Hingga akhirnya popcorn dan minuman yang kupesan, kini sudah
berada di tangan. Kulihat Nada masih dalam antrian. Masih ada 2 orang
lagi di depan Nada sebelum loket. Dan kuputuskan untuk singgah di tempat
duduk terlebih dahulu, dan melanjutkan kembali keisenganku yang tadi
sempat terganggu.
Belum lama aku memandangi sekitar, bahuku dikagetkan oleh tepukan yang cukup keras dari Nada.
“Hey!!! Dicariin dari tadi, ternyata bengong disini” kata Nada setelah mengagetkanku.
“Ah, siapa yang bengong! Cuma lihat-lihat aja kok” jawabku.
“Hayyooo, lihatin siapa? Pasti liatin cewek orang ya?” tanyanya menggoda.
Aku hanya dapat memasang muka masam ketika mendengar ledekan Nada. Aku
tak dapat mengelak ketika aku ketahuan sedang memandangi cewek dan
kekasihnya yang sedang berada di tengah-tengah antrian. Aku tertarik
bukan karena kecantikan cewek tersebut, namun lebih kepada betapa
bahagianya mereka.
“Andai aku bisa seperti mereka. Pasti dunia akan terasa jauh lebih indah daripada sekarang” khayalanku coba menebak.
“Wooyyy!!! Malah dikacangin gua. Udah ayo masuk, jangan duduk disini kayak orang gila” kata Nada membuyarkan lamunanku.
Segera tanganku ditarik oleh Nada untuk memasuki ruang bioskop. Aku
hanya bisa menuruti kemauannya dengan fikiran masih terbayang oleh
sepasang kekasih yang baru saja kulihat.
Dan rupanya, kami datang terlalu cepat. Masih ada waktu sekitar 15
menit sebelum film perahu kertas diputar. Namun kami telah terduduk
manis di kursi empuk nan ber AC ini. Hawa dingin dari pendingin udara
terus menerpa, membuat dekapan Nada di lenganku semakin erat tak
terlepaskan. Sambil menunggu waktu, kami mengobrol sana-sini. Namun rasa
aneh tiba-tiba terbayang di benakku.
“Nad, aneh gak sih kalau kita berduduk berdua disini?” aku mulai merasa
tidak enak karena sedari tadi hanya kami berdua yang terduduk bercanda
tawa di dalam ruangan yang cukup luas ini. Sementara pengunjung yang
lain hanya memilih untuk menunggu di pintu masuk.
“Aneh gimana?” tanyanya singkat.
“Ya, aku merasa aneh aja. Yang lain belum masuk, eh kita malah nyelonong duluan” ujarku menjelaskan.
“Ah, nyantai aja lagi” jawab Nada tenang.
“Emang kamu gak malu apa? Dilihatin orang dari luar tuh” kataku seraya menunjuk ke arah pintu masuk.
“Selama sama kamu, aku rileks aja kok.” Godanya.
“Oh iya, aku lupa kalau kamu kan gak punya malu.” candaku pada Nada.
“Huuuhh, enak aja. Tau ah, sebel!” kata Nada dengan mukanya yang menunjukkan ekspresi cemberut.
“Wah, aku baru tahu. Ternyata cewek cantik kalau cemberut jadi jelek juga ya.” candaku lagi.
Dan ternyata candaanku yang satu ini dapat membuatnya sedikit tersenyum kembali.
“Ehhh, udahlah. Kalau mau katawa, ketawa aja lagi. Nggak perlu ditahan.” Tambahku.
“Ahhh, dasar ya..” jawab Nada dengan senyum kecil mulai menghiasi wajahnya.
Kami pun kembali tertawa lepas ditemani popcorn dan soda yang telah
kubeli tadi. Namun suasana tiba-tiba mencekam sekaligus membuat jantung
nyaris copot. Yaitu ketika semua lampu yang ada di dalam ruang bioskop
seketika dimatikan dan suasana menjadi gelap gulita. Dan tak lama
kemudian, beberapa lampu kecil di pinggir kursi menyala. Menciptakan
suasana yang romantis sekaligus pertanda bahwa film yang kami
tunggu-tunggu akan segera diputar.
Mungkin karena fikiranku yang masih dikagetkan oleh kondisi lampu
mati, hingga aku tak menyadari bahwa sedari tadi Nada menggenggam erat
lengan kananku. Tangan milik Nada menggenggamnya cukup kuat, hingga
lenganku terasa sedikit sakit. Betapa kagetnya aku, disaat kulihat tubuh
Nada yang sudah berkeringat dingin dan wajah yang ketakutan.
Genggamannya di lenganku masih saja terasa kuat, bahkan semakin waktu
terasa semakin kuat. Dan baru kuketahui bahwa Nada memiliki phobia
terhadap tempat gelap.
Perlahan, kugenggam jemari mungil tangan kanannya dengan tangan
kiriku. Tangannya yang tak berhenti kejang-kejang semakin memperkuat
tanda bahwa ia sangat ketakutan. Kuelus perlahan tangannya yang lembut,
hingga ia merasa sedikit tenang. Secara perlahan, ia mulai melemahkan
cengkramannya di lengan kananku. Setelah itu, kulepaskan tangan kananku
dan kuletakkan di atas kepalanya. Kuelus perlahan rambutnya dan
kuletakkan kepalanya di pundakku.
“Kenapa? Kaget ya?” tanyaku.
Ia tetap terdiam tak menjawab. Dengan suara tangis yang sedikit tersengal-sengal.
“Sudahlah, kan ada aku disini” hiburku.
Cukup sulit bagiku untuk menenangkan seorang perempuan. Karena aku
belum berpengalaman sebelumnya. Yang kutahu saat ini, hanyalah terus
menghiburnya hingga ia melupakan kejadian yang baru saja terjadi. Hingga
akhirnya layar bioskop mulai bersinar terang, menerangi ruangan yang
cukup gelap. Dan kutahu, kini Nada sudah dapat tenang kembali. Dan
kamipun dapat menikmati film Perahu Kertas ini.
Nyaris 2 jam telah berlalu, berbagai nama pemain film telah muncul di
layar. Pertanda bahwa film yang kami tonton telah usai. Salah satu cafe
yang berada di kawasan Sukarno Hatta adalah tujuan kami selanjutnya. Di
kawasan Sukarno Hatta terutama malam hari memang terkenal sebagai
tempat wisata kuliner sekaligus tempat bagi anak muda untuk menghabiskan
malam minggu.
Tak sampai 15 menit, Vario milik ayah telah berpindah ke tempat
parkir cafe. 2 porsi nasi goreng spesial ditambah dengan es jus melon
menjadi pilihan untuk mengisi perut yang sedari tadi sudah keroncongan
ini. Setelah makanan dan minuman terpesan, kini bagianku untuk memilih
tempat yang cocok untuk kami berdua. Sebuah meja yang berada di lantai 2
menghadap ke arah sepinya jalan Sukarno Hatta serta pegunungan arah
kota Batu yang disinari cahaya-cahaya kecil menjadi pilihanku. Dan
nampaknya, Nada juga setuju dengan pilihanku.
“Kamu hebat juga ya milih tempat” pujinya.
“Ah, enggak kok. Aku Cuma sering lihat di TV aja kalau katanya tempat ini bagus” kataku merendah.
“Bisa aja kamu” canda Nada.
“Oh iya Wan, aku mau ngucapin terima kasih sama kamu” lanjutnya dengan nada agak malu-malu.
“Terima kasih buat?” tanyaku heran sekaligus bingung.
“Terima kasih karena kamu tadi udah nenangin aku” jelasnya.
“Ah, santai aja lagi. Apasih yang enggak buat kamu” jawabku.
“Mulai lagi deh, gombalnya” balas Nada dengan tersenyum lebar.
“Tapi aku serius Nad” kataku seraya meraih tangan Nada.
Suasana berubah menjadi hening. Keceriaan yang sedari tadi terpancar
dari kami berdua, kini lenyap entah kemana. Kuberanikan diri untuk
menatap kedua matanya.
“Aku, aku merasa hidupku berubah. Hidupku jadi lebih berwarna, jadi
lebih ceria. Dan itu semua karena kamu Nad! Semenjak kenal kamu, aku
merasa ada sesuatu yang berubah. Semua perubahan itu terasa aneh bagiku,
dan semuanya juga baik menurutku. Jadi aku fikir, aku tidak bisa hidup
jauh darimu Nad. Kamu mau gak, jadi pacarku?” lanjutku.
Nampak Nada mengernyitkan dahi, sepertinya ia ragu-ragu.
“Hilang sudah harapanku” kataku menyerah dalam hati.
“He’em” jawab Nada.
Seraya kusambut dengan senyum bahagia yang begitu lebar, selebar senyum milik Nada.
“Beneran Nad?” kataku seakan tak percaya.
“Iya, aku juga merasa kalau kamu yang paling cocok buat aku. Mulai dari
yang bikin aku ketawa, sebel, dan juga kamu yang paling bisa nenangin
aku. Makasih ya sayang”
Aku merasa seperti terbang mendengar perkataan Nada yang mulai kini
telah resmi menjadi pacarku. Dan semenjak hari itu, malam mingguku
menjadi lebih cerah. Secerah langit yang dihiasi bintang-bintang terang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar